Thursday, June 21, 2007

>cerita lucu


dompet kyai


Dalam rangka rekonstruksi Aceh pascagempa dan tsunami, FPUB berencana mengadakan beberapa program. Untuk itu saya bersama Kyai Abdul Muhaimin, Romo Yatno, Pendeta Bambang, Pdt. Up Effendi, Adi (putra Pdt. Up. Effendi), Ngatiyar, dan Rendra (baca juga “CATATAN PERJALANAN”) berangkat ke Aceh.Masing-masing mengenakan seragam FPUB berupa rompi berwarna krem dengan banyak kantong. Kami bermalan di Pastoran Gereja Katedral Medan.Para romo dan frater di sana menyambut kami dengan suka cita. Kedatangan kami mereka anggap sangat special karena sangat jarang ada rombongan tamu dari berbagai latar belakang agama berkenan singgah ke tempat mereka. Seperti kebanyakan bangunan gereja Katholik di Indonesia yang merupakan bangunan peninggalan Belanda yang berlangit-langit tinggi dan berdinding tebal, pun halnya pastoran yang kami tempati ini.Kami disediakan dua kamar berukuran single dan satu kamar berukuran besar, kira-kira 5x6 meter. Karena udara di Medan cukup menyengat, maka kami bertelanjang dada. Di samping mengemban tugas utama, kami juga ingin menikmati suasana kota Medan. Menjelang gelap saya memutuskan untuk santap malam di Belawan Square (BS). Hanya 100 meter dari pastoran.BS merupakan pusat jajanan yang khusus buka pada malam hari. Pada siang hari BS merupakan jalan raya yang cukup ramai dengan arus lalu lintas. Jelang senja jalanan sepanjang 500 meter dengan deretan toko di kiri-kanannya itupun ditutup. Gerai-gerai makanan pun digelar lengkap dengan kursi dan mejanya, pasti. Tanpa atap, alias beratapkan langit. Semakin malam semakin ramai. Penjual dan pembelinya umumnya warga keturunan China. Yang tak kalah unik, semua transaksi tidak boleh menggunakan uang, melainkan kupon. Saya pun bergegas memilih menu dan mecari tempat duduk, tentu saja, kalau bisa dekat dengan wanita cantik nan seksi. “Naluri lelaki,” kata SAMSON. Saya memilih menu vegetarian: nasi, sayur, "daging-dagingan" yang terbuat dari tepung gluten, dan jus jeruk. Lalu saya bergegas ke loket untuk menukarkan uang dengan kupon seharga uang yang saya tukarkan, Rp 25.000,00. Enjoy banget! Seandainya saya bersama kekasih saya pasti lebih romantis. Uhhh……Sambil menyantap menu para pengunjung dihibur oleh seperangkat sound system untuk berkaraoke ria. Nonton saja boleh, ikut karaoke juga bisa. Terserah kita. Yang tak kalah penting adalah kebersihan yang selalu terjaga. Piring yang digunakan hanya sekali pakai, terbuat dari kloroform. Kantong-kantong sampah selalu tersedia. Usai berjualanpun sampah langsung dibersihkan, tak ada sisa sampah untuk hari esok. Salut!!! Esoknya, Kyai Muhaimin tampak sibuk memeriksa tas, kantong celana, baju dan rompinya. Dan, ternyata, “Dompetku hilang,” katanya. Lalu iapun bergegas melapor ke kantor polisi terdekat. Terjadi sedikit ketegangan ketika polisi jaga menanyakan tempat kyai menginap. Kontan saja polisi itu terkejut. Lantas memarahi kyai. Bagi Kyai Muhaimin, yang sudah malang melintang di dunia antariman, tidur, makan dan sholat di pastoran adalah hal biasa. Tapi tidak bagi sang polisi. Ia menganggap kyai sudah nggak waras. “Kyai kok nginap di tempat orang Katholik,” begitu kira-kira pikirnya. Kami sepakat untuk memberikan sebagian uang saku kami guna meringankan musibah yang telah dialami kyai begitu kyai tiba.Untuk melupakan kejadian itu kami berwisata ke daerah dingin Berastagi. Lalu mandi airpanas di pemandian airpanas Sibayak. Esoknya kami berkemas, hendak kembali ke Jogja. Dan masing-masing mengenakan seragam rompi kembali. Ketika merogoh saku rompi, saya terkejut mendapati sebuah dompet tebal berwarna hitam. Lalu saya buka. “Lho, ini kan dompet panjenengan,” sambil saya tunjukkan kepada kyai. “Lha iya. Bener,” jawabnya. Ternyata rompi kyai tertukar dengan rompi saya. Kontan saja semua tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha……,” serempak.. Capek dech………………. (Samarinda, setelah dua tahun berselang)

>Yk, Hindu, dan Sepotong Cinta

dimuat jayapangus

Yk, Hindu, dan Sepotong Cinta

oleh SOE HOK GEN*)

Kalau bertandang ke kos teman, mata saya tak pernah lepas memerhatikan rak bukunya. Seberapa banyak buku yang berderet dan variasi temanya, bagi saya, itu bisa menggambarkan isi kepala si empunya. Ya, karena kata orang Tegal, “You are what you read.” Ya, karena dari tumpukan kertas bernama buku itulah narasi ini bermula.

Dulu, seperti kebanyakan orang Indonesia, saya malas membaca. Lebih-lebih buku agama. Alih-alih membaca satu judul buku hingga selesai, membaca beberapa lembar saja sudah membuat mata saya seperti “Gus Dur” alias ngantuk. Pun mulut saya jadi mendesah eh,…..menguap! Atau sering pula kepala ini jadi pening tujuh keliling karena ora dong apa isinya! Seperti kebanyakan umat Hindu umumnya, saya memahami Hindu hanya mengandalkan pelajaran formal di sekolah dan kampus. Celakanya, pembelajaran itu terasa “kering” di kepala dan hati. Hanya serasa nikmat ketika dapat nilai. Lain itu nyaris tak ada, bukan?

Mempelajari agama di tingkat sekolah tentu beda dengan di kampus. Tapi, celakanya, mahasiswa ikut kuliah agama cuma formalisme untuk dapat nilai! Kegairahan untuk mengeksplorasi lebih dalam, tampaknya, masih kurang. Ini terlihat dari berbagai kegiatan KMHD yang masih itu-itu saja. Salah satunya belum ada media informasi dan publikasi yang mewadahi problematika, opini, ide, kreatifitas, maupun dinamika mahasiswa dan umat Hindu. Padahal, Yogyakarta gudang kaum intelektual. Pun banyak mahasiswa Hindu yang kuliah di Jurusan Jurnalistik atau Ilmu Komunikasi. Di manakah mereka berada, ya? Tapi saya tak patah arang. Justru itulah saya gunakan sebagai tantangan.

Awalnya, saya tak percaya diri. Pasalnya, pengetahuan agama terbilang pas-pasan (kalau tidak mau disebut kurang). Jangankan mau menerbitkan media, pelatihan jurnalistik aja belum pernah ikut. Alhasil, kemampuan teknis menulis juga masih kurang. Tapi rasa cinta terhadap Hindu-lah yang menghapus keraguan itu. “Ya, learning by doing,” pikir saya.

Kalau sidang pembaca di tahun 2002-2003 sering ke pura tiap Purnama, tentu Anda pernah mendapati secarik kertas mungil yang mulanya dikira brosur iklan. Padahal, kertas mungil itu adalah media alternatif Hindu pertama di Yogyakarta yang dibagikan gratis. Lontar, namanya. Isinya sangat sederhana. Tak disangka, ternyata, sambutan umat sungguh luar biasa. Bersama beberapa teman, saya berupaya menerbitkan secara kontinyu. Tapi, apa daya. Kesibukan saya sebagai mahasiswa (yang sok sibuk) akhirnya memaksa Lontar untuk mengakhiri hidupnya, Agustus 2003.

Banyak orang yang menyayangkan kejadian itu. Ya, saya masih terngiang betapa dramatisnya mengelola Lontar kala itu. Biarpun Lontar telah almarhum, tapi semangatnya harus terus mengobar. Dan, benar saja. Akhirnya, KMHD UGM, di awal 2004, meneruskan perjuangan Lontar dengan menerbitkan Suara Anandam Lembar. Saya tak menyangka semangat Lontar, ternyata, menular kepada rekan-rekan yang lain. Alhasil, kini di Yogyakarta kian marak media alternatif Hindu. Sebut saja: Jnana (alm), Jegeg (alm), Yogya Vidya Jayanti, Sanatana Dharma, dan tentu saja JAYAPANGUS yang keren ini.

Teringat pernyataan seorang teman KMHD, “Saya datang ke Jogja ini untuk belajar di kampus. Bukan jadi penulis.” “Betul, tugas utama kita adalah belajar,” jawab saya, “tetapi, kemampuan menulis akan sangat membantu kita dalam belajar banyak hal.” Bibir merahnya membisu, wajah cantiknya tertunduk. Baru beberapa tahun kemudian saya mendapatkan jawabannya ketika dengan wajah berseri-seri dia bercerita bahwa dia telah memenangi lomba menulis esai di kampusnya, bahasa Inggris lagi. “Wow, hebat! Kamu udah bisa ngalahin saya,” kata saya.

Memiliki pengetahuan agama yang pas-pasan, tetapi berkeinginan untuk terus belajar dan menyadarkan orang lain untuk juga belajar, saya pikir, lebih baik daripada memiliki pengetahuan agama yang tinggi tetapi tidak mau berbagi dengan orang lain. Dan, jauh lebih baik daripada orang yang tidak mau belajar sama sekali. Inilah cinta. Cintalah yang menggerakkan karma untuk beryadya mencerdaskan umat. Cinta yang menuntun kita untuk mereguk Dewi Saraswati (baca: ilmu pengetahuan) agar lebih arif menyikapi hidup. Cinta pula yang menafasi saya untuk menceritakan dinamika umat Hindu Yogyakarta kepada segenap pembaca majalah Media Hindu di pelosok Nusantara. Cinta pula yang pernah menggerakkan hati saya, bersama teman-teman agama lain, untuk mengelola sebuah majalah antariman di Yogyakarta.

Saya bisa merasakan energi cinta yang mengalir deras ketika bersembahyang ke pura. Cinta yang berasal dari bhakti para penyungsung pura menyiapkan segala perangkat persembahyangan. Cinta pula yang melandasi para pemuda Pura Banguntapan menjaga sepeda motor kita selagi kita bersembahyang. Namun, dengan tanpa cinta kita justru membuat gaduh suasana pura. Dan, dengan tanpa cintalah kita membuat kotor halaman pura. Dan, dengan tanpa cinta pula kita enggan berdana punia.

Celakanya, “cinta” terhadap kekuasaan dan rupiahlah yang membuat salah seorang pejabat yang duduk di salah satu ruangan di Kanwil Departemen Agama DIY justru membuat kita bingung. Bagaimana tidak bingung, jika ucapan dan perbuatan tidak sinkron. Hanya manis di bibir. Ya, pantaslah jika kita memberinya gelar kehormatan sebagai Pembingung Masyarakat Hindu DIY. Selalu saja ada 1001 alasan untuk berdalih “tidak ada dana” untuk kegiatan umat. Dengan terang-terangan pula ia memasang tarif untuk mengisi dharwa wacana ataupun membuat tulisan. Luar biasa “cintanya” dalam “mengamankan” dana bantuan rekonstruksi pura yang rusak akibat gempabumi.

Cinta itu ikhlas memberi, bukan sebaliknya. Dengan cinta pulalah semoga kaum muda Hindu semakin giat berjuang memajukan agamanya. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Saya berharap, kelak, dunia penerbitan Hindu akan semakin marak. Patut disambut gembira bahwa dewasa ini banyak buku Hindu diterbitkan. Temanya pun beragam. Tapi, bagi saya, itu sermua masih kurang! Saya berharap lagi, kelak, ketika saya jadi ayah, saya tak kesulitan mencari VCD interaktif pembelajaran Hindu buat anak-anak saya. Atau komik-komik bernafaskan kehinduan. Atau juga buku-buku yang membahas khusus problematika para ABG Hindu. Atau buku-buku lain agar generasi mendatang jadi lebih cinta kepada agamanya. Ayo KMHD, bangun! Jangan cuma Kumpul-kumpul Makan-makan Hura-hura Dagelan!!! Jangan malas seperti saya.

*) penulis adalah wong edan

Tuesday, June 12, 2007

>geothermal


belajar nulis inggris. msh belepotan. blm diedit.tlg kasi tau klo da yg salah


GEOTHERMAL: AN ALTERNATIVE ENERGY
FOR THE BETTER FUTURE

Introduction
Indonesia’s archipelago is located among some plates tectonic. It caused many of volcanoes appear along there, that is called the ring of fire. Due to its location, Indonesia has the biggest potential geothermal resource in the world. It is approximately 40% world resource or 20,000 MW which spread out along Sumatra, Java, Bali, Nusa Tenggara, Halmahera, and Sulawesi islands. Almost half (8,000 MW) of this potential energy is located in Java and Bali, the most populous islands with the highest demand of electricity. Nevertheless, only 4% of Indonesia’s geothermal resource have been using. Research activities for geothermal resource begun on early 1900s by the Dutch colonialism. However, the first geothermal exploration activities was done in 1974 in Kamojang, West Java, and eight years later commersial power plant had done.

The Importance of Geothermal
The existence of geothermal is associated with volcanism activity. It can be understanding that, commonly, geothermal field has located on volcanic area. According to Armstead (1983) that geothermal is the energy which come from the depth of earth that can be hot steam, fluid, or mix both of them and it can be extracted to the top of earth to economical activity. There are three basic categories of geothermal resources: hydrothermal, geopressured, and hot dry rock (Blair, et. al., 1982). Hydrothermal is fluid that accumulated to magmatic with the result that hot fluid. Geopressured is the geothermal energy that comes from the earth pressure. It gives gradient temperature by different depth. Whereas, hot dry rock is geothermal energy that caused by impermeable rocks that have been heated. However, from the three of them, only hydrothermal source can be used economically.
Geotermal field can be identified by seeing the phenomena on the its surface. It can be fumarole, water hot pool, hot spring, geyser, steaming ground, etc. However, that are not enough for geologists. They need some evidence to proof the potential resource. Due to their responsible about it, they observe five components of geothermal field: heat source, fluid, fracture, reservoir, and cap rock. Heat source comes from the magma activities in the depth of earth. It is the power to produce hot fluid. Fluid comes from, mostly, the meteoric water. The water flow until some of the dept which contact with magma and change it to be hot water and steam. To flow until the earth depth, water needs a way to reach it. It is called fracture. In order to the water accumulation not to spread out anywhere, impermeable rocks needed to catch it. The rocks likes that is called reservoir. And the last component is cap rock. It function as a trap on the top of reservoir in order to keep the fluid stay flowing.
What is geothermal for? It can be used to many of human needs. Geothermal energy can be utilized as directly and indirectly. In directly utilization, such as domestic services, like the Maoris activities, in New Zealand. A man catch his trout in a cool river and drop it into a nearby pool of boiling water to cook it. A few yards away his wife administering a geothermal bath to the baby, while his daughter is doing the household laundry in a hot spring and the vegetables are cooking over a fumarole. In addition, hot water has many of minerals that very usefull to cure some of the skin disesases. Moreover, woman usually used it to their beauty treatment by swimming in the hot water pool. It can make them have more good skin because of the regeneration of their cells. Farmer also use geothermal for their products. Natural hot waters are used to heat greenhouses in which vegetables, fruits, mushrooms, and flowers. Due to many advantages of geothermal, it may invite tourists to come to the geothermal field. So, many of economic activities may be occurred.
Moreover, in indirectly utilization, geothermal energy is used to generate power plant to produce electricity. This is the most important things to do because the increasing of electricity needs day by day. Nowdays, the energy crisis faced in all of the world because the decreasing of petroleoum and gas resources. Enviromental issue push up many countries did many researches to find another alternative energy. One of them is geothermal energy. In many researches, it has proved that geothermal is clean energy. It is almost no pollution caused by the utilization as electric power plant. Futhermore, geothermal is recycle energy. Steam or hot water, which produced by geothermal wells, used to turn the turbine and after that the water, which to be cooler than before, reinjected to the wells. Then the water flowing to the depth of earth and warming up again by the hot source.
Geothermal in Yogyakarta
There is very less geothermal phenomena in Yogyakarta. We can see it in the Parangtritis beach as small hot water pool. Eventhough Mt. Merapi is very active volcano, but based on geology research, it known that bad reservoir in the stratigraphic subsurface. Due to the capacity of the hot water pool is very low, there is no power plant built.

The Future of Geothermal Energy
According to Kyoto’s Protocol Clean Development Mechanism every country expected to make greenhouse gas reduction program. The Government of Indonesia has had little success in promoting development of energy resource over the past several years. Indonesia utilizes 525 MW of geothermal energy from 787 MW of installed geothermal capacity. As a result, Indonesia saves the equivalent of some 6,300 barrels/day of oil. According the Directorate General of Oil and Gas, Indonesia produced 37.6 million tons of geothermal steam in 2000, which translates into 4,696 GwH of electricity (www.indonext.com/report/report433.html).
Eventhough Indonesia has a lot of geothermal resource, however, utilization of geothermal potential has very slowly and facing difficult challenges. Ministry of Energy and Mineral Resources statistics indicate that renewable energy utilization (hydropower, geothermal and biomass) account for only 3.4% of total potential reserves. This is caused by government’s policies. The government does not give concern seriously to expand geothermal exploration. It caused geothermal energy can not be exported like petroleoum, natural gas, or coal. On the other hand, geothermal is indigenous energy. That means it can be used only in around area that geothermal field had been located.
The abundance of geothermal energy in Indonesia makes it an important natural resource for future energy development. Until the 1997 economic crisis, the regulations enacted by the Government of Indonesia successfully promoted the rapid exploration and development of geothermal energy. Recently, the government has policy to increase petroleoum fuel prices, it may stimulates further utilization of alternative and renewable energy to make our environmental more friendly and cleaner. Moreover, developing geothermal utilization needs a legal basis. Therefore, the government issued geothermal law on 2001. It provides guidliness for geothermal investment and brings a new hoping for better future.

Conclusion
Indonesia has a lot of geothermal resource. Indirectly utilization for electricity, however, is still less. Future geothermal energy development will be dependent on action both of government and investor. Geothermal can be an alternative energy which friendly and reneweable to built better enviromental.

References
· Armstead, H. C. H., 1983, GEOTHERMAL ENERGY: Its past, present and future contributions to the energy needs of man, E. & F. N. Spon Ltd., London.
· Blair, P. D., Cassel, T. A. V., and Edelstein, R. H., 1982, GEOTHERMAL ENERGY: INVESTMENT DECISIONS & COMMERCIAL DEVELOPMENT, John Willey and Sons, Toronto.
· www.indonext.com/report/report433.html (download at March 29, 2006, 04.06 p.m)

Monday, June 11, 2007

>catatan perjalanan


suluh


Menikmati Mentari di Ujung Barat Kepulauan Nusantara


Pada 17-21 Juli 2005 lalu, FPUB berkesempatan mengunjungi dua daerah di ujung pulau Sumatera: Aceh dan Medan. Tujuan utama kunjungan tersebut berkaitan dengan program rehabilitasi pascatsunami Aceh. Program ini merupakan kerjasama tujuh organisasi masyarakat diYogyakarta, FPUB termasuk di dalamnya. Dalam perjalanan ke Aceh, kami menyempatkan diri singgah di kota yang terkenal dengan Bika Ambon-nya, Medan.
Tiba di Medan
Sore itu langit cerah. Suhu udara yang panas menyengat kulit kami. Sebuah pesawat penerbangan milik swasta mengantarkan kami tiba di bandara Polonia dengan selamat. Lelah juga menempuh perjalanan selama tiga jam dari Yogyakarta, sebelumnya transit di Jakarta. Kami berdelapan. Kyai Muhaimin, Pdt. Bambang, Rm. Yatno, Bpk. Efendi, Adi, Ngatiyar, dan saya. Kami dipandu oleh Rendra (LKiS), seorang rekan yang sudah beberapa kali ke Aceh. Lengkaplah sudah lima agama yang kami wakili.
Logat bicara orang Batak yang keras tiba-tiba begitu dekat di telinga kami. Seakan-akan menyambut kedatangan kami dengan seruannya, “Ini Medan, Bung!” Keramaian Kota Medan sebagai kota besar begitu terasa sesaat kami keluar dari bandara Polonia. Kami dijemput oleh kerabat Rm. Yatno yang tinggal di Medan. Rupa-rupanya Rm. Yatno sudah lama tak bersua dengan kerabatnya ini. Kami disambut dengan ramah dan bersahabat. Ajakan jamuan di rumah mereka tak kami tampik. Sungguh, kami terkesan.
Menjelang matahari terbenam, kami menuju ke Gereja Katedral di Kota Medan. Rencananya kami menginap di situ. Sekadar singgah sejenak untuk melepas lelah. Esok harinya baru kami melanjutkan perjalanan ke Aceh.
Kompleks bangunan Gereja Katedral itu tampak telah berumur. Maklum, peninggalan Belanda. Meski begitu masih kokoh berdiri di tengah kota Medan yang kian metropolis. Kami menempati kamar-kamar di lantai 2 yang memang diperuntukkan bagi para tamu. Para frater maupun pastor menyambut kami dengan penuh persahabatan. Apalagi ketika mereka mengatahui kami berasal dari berbagai latar agama yang berbeda. “Kesempatan ini sangat jarang,” ujar salah seorang pastor.
Suhu udara Medan yang panas benar-benar membuat kami gerah. Namun, itu tidak membuat kami enggan berbincang-bincang dengan beberapa aktivis dari Komunitas Pluralis (Komplu) Medan yang datang menghampiri. Perbincangan malam itu sungguh menarik. Namun, sayang, keterbatasan waktu memaksa kami untuk menyudahi perbicangan itu. Tapi, kami membuat janji untuk berbincang kembali dengan para aktivis Komplu lainnya ketika kami kembali dari Aceh. Tepatnya Rabu malam kami akan mengatur pertemuan.
Ke Aceh
Pagi menjelang siang kami berkemas. Bersiap menuju Aceh. Dan satu jam kemudian kami tiba di Aceh. Dari dalam pesawat kami melihat betapa dahsyatnya bencana tsunami itu. Banyak bangunan rata dengan tanah. Genangan-genangan airlaut ada di sana-sini. Sejurus kemudian, kami tiba di bandara Sultan Iskandar Muda. Bandara kecil ini tampak sibuk. Maklum sejak bencana tsunami, banyak orang asing berdatangan.
Kemudian kami disambut di kantor Rabithah Thaliban Aceh (RTA), sebuah organisasi ulama Aceh yang sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Aceh. Di kantor inilah, nantinya, kami berbincang merencanakan program rehabilitasi untuk korban tsunami Aceh. Meski kantor itu tergolong kecil, berukuran 3x10 m dan berlantai dua, tetapi peran RTA selama ini sangat penting dalam mengorganisasi kaum ulama. Kantor itu dikelola oleh ulama-ulama yang masih muda.
Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami, dengan senang hati dua orang dari RTA mengantarkan kami melihat-lihat daerah yang terkena bencana tsunami. Akhirnya, kamipun menyusuri lokasi-lokasi yang terkena bencana. Kami sempat melewati Masjid Baiturachman di Banda Aceh. Jejak-jejak air bah masih tampak nyata. Di sekitanya banyak bangunan yang ambles ke dalam tanah.
Memasuki daerah pantai, kira-kira 10 km dari Masjid Baiturachman, jejak-jejak bencana tsunami kian terasa. Banyak bangunan rata dengan tanah. Tenda-tenda darurat tampak berada di bekas rumah-rumah yang sudah rata dengan tanah tadi. Perkampungan yang pernah sangat padat itu dipenuhi kubangan air laut di sana-sini. Bagi saya, yang baru pertama kali ini menjejakkan kaki di daerah tersebut, pemandangan itu sungguh mengerikan. Apalagi orang yang pernah, atau bahkan tinggal di situ, tentu akan sangat tahu perubahan besar yang telah terjadi dalam sekejap mata itu.
Kami pun menyusuri lokasi lain, yang tentu saja masih di sekitar pantai. Pemandangan tak sedap masih kami temui. Jalanan beraspal banyak yang rusak Rumah-rumah di sepanjang jalan yang kami lalui rusak berat. Namun masih ada satu-dua rumah yang masih tegak berdiri. Tenda-tenda pengungsi masih banyak berserakan. Geliat ekonomi belum pulih benar. Orang-orang masih trauma. Tengok saja, puluhan bahkan ratusan hektar lahan tambak dan pertanian rusak.
Lelah juga mata dan hati ini menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Untuk menetralkan pikiran, lalu kami singgah ke makam Syiah Kuala, penyebar agama Islam pertama di Aceh. Aneh! Di kompleks pemakaman itu hanya makam Syiah Kuala yang relatif utuh daripada yang lainnya. Inilah kuasa Ilahi. Di sepanjang perjalanan tadi memang banyak bangunan yang rusak. Tetapi, bangunan masjid, lagi-lagi, relatif utuh daripada rumah-rumah di sekitarnya.
Senja mulai menjulang. Kami pun berpulang. Malam ini kami hendak bermalam di sebuah pondok pesantren. Letaknya di Sibreuh. Tak jauh dari kantor RTA. Di sepanjang perjalanan, lagi-lagi, mata kami disuguhi oleh pemandangan tak sedap yang rata dengan tanah. Tiba di tujuan, kami disambut ramah oleh Tengku Faizal, pengasuh POndok Pesantren Mahyal Ulum yang bakal kami tempati.
Pesantren ini, dan umumnya di Aceh, berdiri di atas tanah yang luas. Saking luasnya cukuplah kalau dipakai arena sepakbola mini. Seperti bangunan tradisional Sumatera, bangunan di pesantren ini terbuat dari kayu. Lantai bangunan sengaja dibuat tinggi sehingga perlu tangga untuk menaikinya. Letak bangunan terpisah-pisah dengan lainnya.
Dari penuturan Tengku Faizal diperoleh keterangan bahwa sebelum tsunami, pesantren ini hanya ditinggali oleh 40-an santri. Namun, kini, setelah tsunami, pesantren dihuni oleh 150-an santri. Tentu saja hal ini menambah beban. Terutama soal penyediaan makan. Tetapi untunglah banyak pihak yang membantu. Beban jadi ringan. Dari penuturan Tengku Faizal pulalah meluncur cerita yang tak mengenakkan telinga. Pemerintah dinilai sangat lambat dalam menangani korban tsunami ini. Banyak orang Aceh yang memertanyakan kemana saja sumbangan yang mengalir begitu deras itu diperuntukkan. Cerita rebutan “kue bencana” sudah akrab di telinga orang Aceh. “Di sini banyak pesantren dadakan,” papar Tengku Faizal. “Banyak orang beramai-ramai mendirikan pesantren tanpa ada santrinya,” jelas Faizal. Mereka, kata Faizal, menyewa santri-santri untuk didatangkan ke pesantrennya ketika calon penyumbang datang. Setelah calon penyumbang itu pergi, maka santrinyapun disuruh pergi.
Cerita soal aliran dana yang tak tepat sasaran dialami oleh para murid sekolah. Dana bantuan pendidikan, selama ini, hanya disalurkan melalui sekolah-sekolah resmi, sekolah negeri. Padahal, korban tsunami yang berusia sekolah banyak ditampung di pesantren. Celakanya, pesantren luput dari peta penyaluran dana tersebut.
Obrolan kian malam kian seru. Namun, apa daya kami harus beristirahat. Kami berdelapan beristirahat di sebuah bangunan tanpa tembok. Meski hanya beralaskan tikar namun terpaan angin malam dan cahaya bintang di langit menemani mimpi indah kami.
Esoknya, pagi-pagi kami menikmati segelas kopi khas Aceh di sebuah warung, di tepi jalan raya, 100 m dari pesantren. Pemandangan perbukitan sungguh sedap di mata. Selepas makan pagi, kamipun pamit. Hari itu kami mengatur pertemuan dengan RTA untuk merancang program pelatihan bagi korban tsunami Aceh.
Tiba di kantor RTA kami bertemu dengan beberapa pengurus RTA yang lain. Berbagai ide sempat terlontarkan dalam forum itu. Akhirnya, setelah perundingan yang cukup melelahkan tercapai juga kata sepakat. Disepakati bahwa Aceh Sehati akan membantu dan membiayai pelatihan keterampilan bagi warga Aceh. Pelatihan akan dilaksanakan di Yogyakarta selama 12 hari kerja. Pelatihan keterampilan itu meliputi tata boga, tata busana (bagi putri), teknik bangunan, otomotif, dan pertukangan kayu (bagi putrra). Mengenai perekrutan peserta pelatihan dipercayakan sepenuhnya kepada RTA.
Malam ini kami menginap di Gereja Katolik Banda Aceh. Gereja ini terletak tepi di sebuah kanal sungai, tak jauh dari Masjid Baiturachman. Suster-suster di gereja ini sangat ramah. Kami disambut baik. Selama proses evakuasi, gereja ini dijadikan posko oleh tim relawan. Salah seorang suster menceritakan bahwa bencana tsunami telah mempersatukan umat yang berlatar belakang agama berbeda. Tujuannya hanya satu. Untuk kemanusiaan.
Ke Medan (lagi)
Esok siangnya, kami berkemas. Bergegas menuju bandara. Kembali ke Medan (lagi). Sembari menunggu malam untuk bertemu dengan Komplu, kami beristirahat di Gereja Katedral Medan, masih di kamar yang sama.
Tiba juga saat ketika kami berbincang dengan Komplu perihal pengalaman masing-masing bergiat di atas pluralitas agama. Pertanyaan yang kritis dilontarkan oleh seorang aktifis perempuan di Komplu. Ia menanyakan peran perempuan di FPUB. Menanggapi ini Kyai Muhaimin berpendapat bahwa selama ini FPUB sudah cukup terbuka. Namun, seleksi alam yang membuktikan. FPUB tak ingin repot-repot menyoal jender. Justru FPUB lebih memberdayakan potensi yang ada.
Menurut pengakuan aktifis Komplu, di Medan pemerintah daerah pernah membentuk Forum Pemuka Agama (FPA). Namun, hanya papan nama. Kegiatan antariman di Medan, selama ini, baru sebatas insidental dan berwacana, misalnya, ketika Interfidei mengadakan semiloka.
Seorang pegiat Komplu, yang juga seorang seniman, mengaku bahwa hubungan sosial di Medan memang kaku. Ini disebabkan minimnya ruang publik yang representatif. Keberadaan ruang publik ini dinilai penting untuk mempertemukan orang-orang yang berpikir kritis. Ia salut atas eksistensi FPUB yang sudah delapan tahun berjalan. Ia menilai bahwa eksistensi FPUB tersebut dibalut oleh budaya Jawa yang kental. Hal ini tidak terjadi di Medan. Budaya di Medan cukup majemuk. Sulit mencari formula yang tepat sebagai identitas pemersatu.
Kian malam perbincangan makin seru. Banyak hal yang didedahkan dan diimpikan. Namun apa daya ingin memeluk gunung, tapi tangan tak sampai. Kami membiarkan letupan-letupan impian itu mengendap dalam kepala kami. Menyimpannya dalam memori kami sebagai pemacu semangat untuk terus bergiat di Bumi Mataram.*

>fosil manusia purba




Tulisan ini mengantarkanku mengikuti tes pada sebuah grup media terbesar di negeri ini. Tapi sayang, garis karmaku tak mengantarkanku jadi jurnalis.
NB: ada bagian yang hilang dari tulisan ini perihal pengujian DNA terhadap fosil-fosil ini untuk mendapatkan kisaran umur yang lebih akurat. Maaf.....


MACAM DAN PERKEMBANGAN FOSIL HOMINID DI JAWA
SELAMA KUARTER


Daerah yang selama ini banyak ditemukan fosil hominid yaitu Jawa Timur, meliputi Trinil, Ngandong dan Mojokerto, dan Jawa Tengah, meliputi Sangiran dan Sambungmacan. Penemuan hominid fosil yang diberitakan pada tahun 1930an hingga 1941, diawali dengan penemuan tujuh tengkorak dari Homo soloensis yang diperoleh dari Ngandong, Jawa Timur, pada tahun 1931, yang kemudian diikuti oleh penemuan sebuah tengkorak anak-anak dari Homo modjokertensis di Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 1936.

Dari tahun 1936 hingga 1941 beberapa fosil hominid ditemukan di kubah Sangiran, berupa dua tengkorak Pithecanthropus II dan III dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus B pada tahun 1936 hingga 1938, sebuah tengkorak Pithecanthropus IV berbadan kekar yang ditemukan pada tahun 1938 hingga 1939 (Pithecanthropus IV merupakan contoh fosil yang paling lengkap yang ditemukan dalam Formasi Pucangan), sebuah rahang bawah raksasa Meganthropus pada tahun 1941, dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus dubuis pada tahun 1939.

Spesimen Pithecanthropus, Meganthropus dan Homo modjokertensis di Jawa dan Sinanthropus dan Gigantophithecus dari Cina merupakan bukti adanya evolusi manusia dan merupakan tempat terpenting tempat kelahiran manusia.

Keadaan geologi dan stratigrafi
Secara stratigrafi, daerah Sangiran terbagi ke dalam empat formasi. Dari yang tertua hingga termuda berturut-turut adalah Formasi Kalibeng (Pliosen- Akhir Miosen), F. Pucangan (Pleistosen Awal), F. Kabuh (Pleistosen Awal-Tengah) dan F. Notopuro (Pleistosen Awal-Tengah). F. Kalibeng tersusun atas litologi lempung, lempung lanauan (tebal lebih dari 107 m), pasir lanauan (tebal 4,2-6,9 m), batugamping Balanus (tebal 1-2,5 m), lempung dan lanau (tebal 0-10,1 m). F. Pucangan tersusun atas litologi breksi vulkanik (tebal 0,7- 46 m), lempung hitam (tebal 111,3 m) dengan terutama mengandung interkalasi lanau, pasir, diatome, batupasir foraminifera, dan tuf. F. Kabuh dengan tebal 5,8-58,6 m tersusun atas litologi lempung, lanau, pasir, pasir besi dan gravel, juga tersusun oleh interkalasi batupasir konglomerat (yang dikenal sebagai Grenzbank) dan tuf. F. Notopuro dengan tebal mencapai 47 m tersusun atas litologi gravel, pasir, lanau, dan lempung. Juga terdapat interkalasi lahar, pumis dan tuf. Di bagian atasnya terendapkan lumpur vulkanik berumur Pleistosen Akhir dengan tebal 3,5 m. Di lapisan teratas terdapat endapan teras dari Sungai Cemoro, Pohjajar dan Brangkal dan endapan aluvial yang berumur Holosen

Stratigrafi daerah Sambungmacan termasuk ke dalam Formasi Kalibeng. Batuan tertua yang terkespos adalah batugamping napalan berwarna putih-kekuningan, yang mengandung fosil moluska. Juga terdapat interkalasi tipis tuf dan lapisan pasir. Terdapat pula batupasir laminasi silang siur dan lapisan gravel yang terkonsolidasi baik yang berukuran sedang hingga kasar, gravel berukuran berangkal hingga kerakal, dan lanau. Lapisan teratas terdiri dari endapan teras sungai.

Keadaan geologi dan stratigrafi daerah Trinil dan sekitarnya pertama kali diteliti oleh Carthaus (1911) dan Dozy (1911) yang turut sebagai anggota tim ekspedisi Selenka di daerah ini pada tahun 1907 hingga 1908. Kemudian van Es (1931) dan Duyfjes (1936) mempublikasikan hasil penelitian mereka. Secara geomorfologi, daerah Trinil dan sekitarnya termasuk ke dalam antiklinorium Kendeng. Di daerah ini batuan sedimen yang berumur Pliosen-Pleistosen dan batuan vulkanik hadir membentuk struktur homoklin dengan kemiringan batuan yang tak teratur. Singkapan yang baik hanya dapat dilihat di sepanjang tebing Sungai Bengawan Solo.

Batuan tertua yang tampak ke permukaan adalah lempung masif anggota Formasi Kalibeng. Di sebelah utara, di desa Pentuk, Sungai bengawan Solo mengekspos bagian teratas F. Kalibeng yang terdiri atas lempung abu-abu kekuningan yang kaya fosil foraminifera plangtonik. Juga terdapat batulanau dan batugamping dengan tebal 25-47 m.

Selanjutnya, di bagian atas F. Kalibeng terdapat unit F. Pucangan dengan tebal 22-32 m yang terdiri atas breksi vulkanik dengan interkalasi lempung dan batulanau abu-abu. Di bagian atasnya, terdapat unit dari F. Kabuh dengan tebal 45-53 m yang didominasi batupasir dan batulanau dengan interkalasi lapisan gravel (di sinilah Dubois menemukan Pithecanthropus I) . Selanjutnya di atasnya terdapat unit dari F. Notopuro dengan tebal lebih dari 10 m yang terdiri atas pasir dan gravel. Pada lapisan teratas terendapkan endapaan teras yang terdiri dari gravel dan pasir dengan tebal kurang dari 4 m.

Daerah Mojokerto, secara stratigrafi, termasuk ke dalam F. Pucangan. Di daerah ini terdapat tujuh anggota F. Pucangan (Duyfjes, 1936), dari yang tertua hingga yang termuda, yaitu : g) batupasir (kasar hingga halus) tufan dengan tebal 35 m, f) dolomit dan atau batupasir tufan dengan tebal 10 m, e) lempung kehijauan tebal 10 m, d) batupasir kasar hingga halus dengan sisipan lapisan konglomerat, pada lapisan bawah terdapat interkalasi tipis batupasir (halus) tufan, tebal keseluruhan lapisan ini 100 m, c) batupasir halus tufan dengan sedikit interkalasi lempung, tebal 10 m, b) dolomit, lempungan, batupasir tufan dengan cangkang moluska dan banyak tiang koral, tebal 15 m, a) lempungan, batupasir tufan yang mengandung lapisan tipis batupasir tufan, tebal 25 m.

Meganthropus

Fosil primitif yang pernah ditemukan di Indonesia disebut Meganthropus paleojavanicus oleh Koenigswald dan Weindenreich. Fragmen-fragmen rahang bawah dan atas ditemukan oleh von Koenigswald antara tahun 1936-1941 di Formasi Pucangan, Sangiran. Fragmen rahang bawah lain ditemukan oleh Marks pada tahun 1952 di lapisan terbawah Formasi Kabuh.

Temuan Meganthropus yang pertama adalah fragmen rahang kiri atas dengan geraham kedua dan ketiga, serta sebagian geraham pertama. Tetapi, yang pertama kali diumumkan adalah fragmen rahang bawah sebelah kanan dengan kedua geraham muka dan geraham pertama. Temuan berikutnya terdiri dari rahang bawah dengan gigi-gigi, mulai dari geraham pertama kiri sampai geraham ketiga kanan. Rahang bawah Meganthropus mempunyai batang yang tegap dan geraham yang besar. Pada permukaan kunyah tajuknya terdapat banyak kerut, tetapi bentuk giginya hominin. Otot-otot kunyahnya sangat kokoh, karena itu mukanya diperkirakan masif dengan tulang pipi tebal, tonjolan kening yang menyolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta tempat pelekatan yang besar. Meganthropus tidak memiliki dagu. Perawakan tubuhnya tegap. Dilihat pada susunan giginya, diperkirakan makanannya terutama tumbuh-tumbuhan.

Pithecanthropus

Fosil manusia yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah fosil Pithecanthropus, sehingga dapat dikatakan bahwa kala Pleistosen di Indonesia didominasi oleh manusia tersebut. Pithecanthropus hidup pada Pleistosen Awal dan Tengah, dan mungkin juga hingga Pleistosen Akhir. Fosil Pithecanthropus banyak ditemukan di Perning, Kedungrubus, Trinil, Sangiran, Sambungmacan dan Ngandong.

Tinggi badan Pithecanthropus berkisar antara 165 hingga 180 cm dengan berat badan 80-100 kg. Tubuh dan anggota badan tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus. Alat-alat pengunyahnya juga tidak sehebat pada Meganthropus, demikian pula otot-otot tengkuk. Geraham besar, rahang kuat,tonjolan kening tebal serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis, dan tonjolan belakang kepalanya nyata. Dagu belum ada dan hidungnya lebar.

Perkembangan otaknya masih belum menyamai Homo, oleh karena perkembangan kulit otaknya masih kurang, terutama pada bagian yang berhubungan dengan fungsi-fungsi otak yang tinggi dan koordinasi otot yang cermat. Karena itu, mukanya masih menonjol, dahinya miring ke belakang, bagian terlebar pada tengkoraknya masih terdapat dekat dasar tengkorak dan belakang kepalanya belum membulat. Letak tengkorak di atas tulang belakang belum menyamai keadaan pada manusia sekarang. Isi tengkorak berkisar antara 750-1300 cc.

Pithecanthropus yang tertua adalah P. modjokertensis atau robustus, yang pertama kali ditemukan dalam Formasi Pucangan pada tahun 1936 di Kepuhklagen, sebelah utara Perning dan Mojokerto. Temuan tersebut berupa tengkorak anak-anak, berusia sekitar enam tahun, berdasarkan taju puting dan sendi rahang bawahnya. Isi tengkoraknya berkisar 650 cc, setelah dewasa diperkirakan akan menjadi 1000 cc. tonjolan kening sedikit nyata dan tulang-tulang atap tengkoraknya tidak begitu tebal.

Temuan lain yang dianggap tergolong ke dalam P. modjokertensis berasal dari Sangiran, berupa atap tengkorak, beberapa bagian dasar tengkorak, rahang atas dan bawah, serta gigi-gigi lepas. Ciri-ciri Pithecanthropus nyata terlihat. Bagian terlebar tengkoraknya terletak rendah dekat dasar tengkorak dan tulang-tulang atap tengkoraknya tebal. Tengkoraknya rendah dan kiri-kira isinya 900 cc. Tulang belakang rendah dan bersegi antara kedua bagiannya, tempat terdapatnya tonjolan belakang kepala dengan tepi bawah yang tajam. Pada rahang atas, gigi seri tengahnya lebih besar daripada yang samping dan taringnya menonjol melewati permukaan kunyah. Antara gigi seri samping dan taring terdapat ruang , suatu hal yang sangat jarang terjadi pada manusia modern. Ciri primitif yang perlu dicatat pada rahang atas P. modjokertensis ialah terdapatnya tiga buah akar geraham muka pertamanya. Pada rahang bawah, yang terbesar juga rahang kedua. P. modjokertensis diperkirakan hidup pada 2,5 hingga 1,25 juta tahun yang lalu.

Fosil Pithecanthropus yang lebih banyak keterdapatan dan penyebarannya adalah P. erectus. Pada tahun 1980, di Kedungbrubus, ditemukan sebuah fosil berupa fragmen rahang bawah seorang anak laki-laki, diperkirakan berumur sepuluh tahun. Fragmen batang kanan rahang tersebut tebal tetapi dasarnya tipis. Tidak terdapat dagu, tetapi di sebelah dalam rahang terdapat dua buah tonjolan melintang yang sangat nyata. Geraham muka pertamanya sedang muncul. Pada tahun 1891, ditemukan fosil atap tengkorak dari P. erectus di Trinil. Berdasarkan penemuan inilah Dubois memberikan nama P. erectus. Nama erectus yang diberikan berasal dari temuan tulang paha di tempat yang sama, yang menunjukkan bahwa pemiliknya berjalan tegak. Menurut Stokes, 1960, P. erectus merupakan penghubung antara manusia dengan kera. Saat ini, spesies ini dipercaya sepenuhnya sebagai mahkluk yang menyerupai manusia dan selanjutnya juga disebut Homo erectus.

Atap tengkorak P. erectus yang pertama ditemukan adalah kepunyaan seorang laki-laki dengan isi tengkorak sekitar 900 cc. Tulang paha yang pertama ditemukan pada tahun 1982 adalah tulang paha seorang perempuan, dengan tinggi badan sekitar 168 cm. Batang tulangnya lurus dengan tempat-tempat perlekatan otot yang sangat nyata. Temuan P. erectus yang pertama di Sangiran berupa sebuah atap tengkorak perempuan dewasa dengan isi tengkorak 775 cc. Juga ditemukan tengkorak laki-laki dewasa dengan kapasitas tengkoraknya 975 cc. P. erectus diperkirakan hidup pada satu juta hingga 500.000 tahun yang lalu. Menurut Stokes, 1960, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa P. erectus telah mengenal api, dan juga tidak ditemukan artefak yang berhubungan dengan penggunaan api.

Pithecanthropus yang bertahan hidup hingga akhir Pleistosen Tengah, atau lebih belakangan lagi, adalah P. soloensis. Fosil P. soloensis ditemukan dalam Formasi Kabuh di Sangiran, juga ditemukan di Sambungmacan, Sragen serta teras Ngandong, Blora. Fosil P. soloensis pertama kali ditemukan di tepi Sungai Bengawan Solo, di Ngandong, pada tahun 1931 yaitu dua buah atap tengkorak, sebuah tulang dahi dan fragmen tulang pendinding. Dalam dua tahun berikutnya, jumlahnya bertambah dengan ditemukannya tengkorak dan dua buah tulang kering.

Tengkorak yang ditemukan pada tahun 1931 merupakan tengkorak wanita berumur 35-40 tahun dengan kapasitas sebesar 1140 cc. Tengkorak yang lain milik seorang anak perempuan dan seorang laki-laki berumur 40-50 tahun. Pada tahun 1932 ditemukan empat buah tengkorak dan sebuah tulang kering. Satu diantaranya adalah milik seorang perempuan berumur 25-35 tahun. Salah satu fosil yang lainnya lagi, milik laki-laki dewasa, merupakan tengkorak terpanjang yang pernah ditemukan dengan kapasitasnya sebesar 1200 cc. Fosil yang satunya lagi milik seorang perempuan berumur 45-50 tahun dengan kapasitas tengkorak 1190 cc merupakan temuan terlengkap dan utuh diantara temuan tengkorak-tengkorak lainnya di Ngandong.

Dari temuan tersebut diperoleh informasi bahwa otot-otot tengkuknya berkembang baik, otak kecilnya sudah lebih berkembang daripada P. erectus, dan sendi tengkoraknya agak berbeda dengan manusia modern. Sedangkan tengkorak yang satunya lagi milik seorang perempuan muda. Tulang kering yang ditemukan milik seorang laki-laki dewasa. Tulangnya tegap, dengan otot-otot yang besar dan dari tulang ini diperkirakan tinggi badannya sekitar 180 cm.

Pada tahun 1933 ditemukan lagi sebuah tulang kering dan empat buah tengkorak lagi. Tulang kering tersebut merupakan bagian kanan dari tengkorak seorang perempuan dewasa dengan tinggi badan 165 cm. Sedangkan empat tengkorak tersebut, secara berturut-turut, milik seorang laki-laki berumur 25-35 tahun, atap tengkorak perempuan berumur 50 tahun, atap tengkotak perempuan berumur 40-45 tahun dan milik seorang laki-laki berumur 40-45 tahun dengan dasar tengkorak yang hamper utuh. Selanjutnya, pada tahun 1976, ditemukan bagian atas tengkorak sebelah kanan dan sebuah atap tengkorak yang rapuh. Sebuah fragmen tulang pinggul, yaitu bagian sendinya dengan tulang paha, ditemukan pada tahun 1978.

Secara umum, isi tengkorak P. soloensis berkisar antara 1000 hingga 1300 cc, tulang tengkoraknya menonjol, tebal dan masif, dengan tempat perlekatan yang menyolok. Tonjolan keningnya masih cukup nyata, tetapi mulai menyusur di tengah-tengah. Dahinya lebih terisi dan tengkoraknya lebih tinggi daripada P. erectus dan P. modjokertensis. Tempat perlekatan otot tengkuk masih cukup luas. P. soloensis memiliki akar hidung yang lebar, rongga matanya sangat panjang.

Dari ciri-ciri pada dasar tengkoraknya dapat disimpulkan bahwa letak kepalanya di atas tulang belakang belumlah seperti pada manusia modern. Tulang keringnya tegap dengan tempat perlekatan otot yang kasar. Tinggi badannya diperkirakan 165 hingga 180 cm. Walaupun P. soloensis memperlihatkan banyak persamaan dengan P. erectus dan P. modjokertensis, tetapi lebih banyak lagi persamaannya dengan P. pekinensis dari Chou-kou-tien, dekat Beijing. Perbedaan P. soloensis dengan P. erectus dan P. modjokertensis terlihat pada besar tengkoraknya, tonjolan kening dan tonjolan belakang kepala, daerah telinga dan sekitar hidung. P. soloensis diperkirakan hidup pada 900.000 hingga 300.000 tahun yang lalu. Menurut Stokes, 1960, P. soloensis, oleh beberapa peneliti, digolongkan ke dalam spesies antara Homo erectus dengan Homo sapiens.

Homo

Fosil manusia dari genus Homo yang ditemukan berupa rangka Wajak, Jawa Timur, dan juga beberapa tulang paha dari Trinil dan tulang-tulang tengkorak dari Sangiran. Penemuan fosil Homo yang pertama terjadi di dekat Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur, adalah H. sapiens oleh van Rietschoten pada tahun 1889. Fosil yang ditemukan tersebut kemudian diselidiki oleh Dubois dan ternyata terdiri dari tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa ruas leher. Penemuan yang kedua terjadi pada tahun berikutnya di tempat yang sama, terdiri dari fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan bawah, serta tulang paha dan tulang kering.

Berdasarkan ciri-ciri fisik, Homo lebih maju daripada Pithecanthropus. Isi tengkorak Homo bervariasi antara 1000 hingga 2000 cc, tinggi badan 130 hingga 210 cm dan berat badannya 30 sampai 150 kg. Otak lebih berkembang, terutama kulit otaknya, sehingga bagian terlebar otaknya terletak tinggi di sisi tengkorak dan dahinya membulat serta tinggi. Bagian belakang tengkorak juga membulat dan tinggi.

Otak kecil sudah berkembang lebih jauh pula dan otot tengkuk sudah mengalami reduksi, karena sudah tidak begitu diperlukan lagi dalam ukuran yang besar. Hal ini dikarenakan alat pengunyah sudah susut lebih lanjut, gigi mengecil, begitu pula rahang serta otot pengunyah dan muka tidak begitu menonjol lagi. Letak tengkorak di atas tulang belakang sudah seimbang. Berdiri serta berjalan tegak sudah lebih sempurna dan koordinasi otot sudah jauh lebih cermat. Dari uraian tersebut, manusia Wajak memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh Mongoloid dan Australomelanesid. Diperkirakan manusia Wajak hidup pada 40.000 hingga 25.000 tahun yang lalu.

Simpson, 1966, menyebutkan bahwa H. sapiens, secara gradual muncul. Simpson memberikan ciri-ciri perbedaan anatomi manusia dengan genusnya sebagai berikut :
Manusia berkembang dari kera, juga berasal dari simpanse dan gorila, tetapi kemudian mengalami spesialisasi.

Perbedaan leluhur manusia dengan kera dicirikan oleh penggunaan kedua lengan (bipedal) dan juga tubuh bagian atas, yang sangat berhubungan dengan anatomi, kebiasaan dan kemampuan.
Perbedaan selanjutnya tampak pada evolusi susunan gigi, yang juga berpengaruh pada jenis makanan. Tidak dapat diketahui secara pasti apakah perbedaan bentuk tubuh dan susunan gigi terhadap kera terjadi secara tiba-tiba atau secara gradual.

Hanya setelah evolusi bentuk tubuh dan susunan gigi sempurna, otak manusia menjadi lebih besar dan melampaui otak kera, kecerdasan tidak hanya berhubungan dengan kapasitas otak tetapi juga dengan anatomi tengkorak.

Kesimpulan
  • Fosil hominid banyak ditemukan di daerah Sangiran, Sambungmacan (Jawa Tengah), Trinil, Ngandong dan Mojokerto (Jawa Timur).
  • Secara stratigrafi, fosil hominid banyak dijumpai dalam batuan yang termasuk ke dalam anggota Formasi Pucangan dan Kabuh.
  • Fosil hominid yang ditemukan, berdasarkan umur dari yang tertua hingga yang termuda dan tingkat kecerdasannya dari yang rendah ke yang lebih maju, berturut-turut adalah Meganthropus, Pithecanthropus modjokertensis, P. erectus, P. soloensis dan Homo sapiens.

Daftar Pustaka
  • Peter, B., 2000, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Edisi Revisi, Gramedia, Jakarta, p.525.
  • Poeponegoro, M. D., Notosusanto, N., 1993, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Edisi ke-4, Balai Pustaka, Jakarta, p.495.
  • Richard, L., 2003, Asal-usul Manusia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, p.221.
  • Simpson, G. G., 1966, The Biological Nature of Man, dalam Cloud P (ed), 1970, Adventures in Earth History, W. H. Freeman and Company, San Fransisco, p.992.
  • Stokes. W. L., 1960, Essential of Earth History : An Introduction to Historical Geology, Third Edition, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, p.532.
  • Watanabe, N., Khadar, D. (ed), 1985, Quartenary Geology of the Hominid Fossil Bearing Formation in Java, Geological Research and Development Center, Special Publication No. 4, p.378.

>hari raya

suluh interfaith magazine. entah edisi kapan















MERAYAKAN HARI RAYA, YA BERBELANJA!

“Lebaran itu kan nggak mesti pake baju baru. Yang penting kan hatinya,” ucap salah seorang presenter sebuah televisi swasta. Ya, sudah menjadi sebuah tradisi tak terlulis penduduk negeri ini kalau merayakan hari raya tanpa pakaian baru itu kurang sreg. Pada masa-masa menjelang hari raya, terutama pada bulan Ramadhan, terjadi sebuah stimulus konsumsi yang luar biasa. Kalau menengok sejenak ke pusat-pusat perbelajaan, taruhlah supermarket, mal, ataupun departement store, deretan spanduk ataupun promosi, yang menawarkan diskon harga sebuah produk, mengundang selera pengunjung untuk segera merogoh kocek. Potongan harga yang cukup menggiurkan bagi para pembelanja yang akan merayakan hari raya. Potongan harga itu berlaku untuk berbagai jenis barang, mulai dari pakaian, sepatu, sandal, kebutuhan rumah tangga hingga barang-barang elektronik.
“Menurut aku itu adalah suatu hal yang lumrah-lumrah saja! Emang sih selain puasa makanan, kita juga harus puasa keinginan, tapi aku sendiri yakin bahwa mereka melakukan itu karena mereka menganggap lebaran itu pokoke hari yang spesial! Kan mereka ingin melakukan yang terbaik di hari raya ini!” ujar Nur Asriyani (20). Menyoal kebutuhan keluarga selama Ramadhan, ia memaparkan “Kebutuhan kami selama bulan puasa biasa-biasa saja. Kalau pun ada, paling soal makanan. Kami biasanya punya masakan yang agak istimewa pada bulan Ramadhan ini, biasanya pada saat buka puasa. Setidaknya ada tambahan jenis makanan atau minumannya.”
Di sampaing banjir diskon di berbagai pusat perbelanjaan, selama bulan Ramadhan, Natal dan tahun baru juga terjadi kenaikan harga-harga barang, terutama sembilan bahan pokok kebutuhan rumah tangga yang sering kedapatan langka di pasaran. “Ya, namanya juga pedagang, kan aji mumpung! Mumpung ada situasi yang mendukung, mereka pasti lakoni itu. Tapi sebenernya aku sendiri sih sebel melihat keadaan dimana hampir semua harga barang melambung tinggi,” ungkap Aprilia Ambar Ariani (20). Apriani yang ayahnya seorang pegawai negeri sipil ini mengungkapkan bahwa uang tunjangan hari raya (THR) dari kantor, tempat bapaknya bekerja, digunakan untuk membeli makanan dan minuman sebagai jamuan tamu saat datang di hari Natal. “Nah, kalau ada sisanya, biasanya bapakku membagi-bagikannya kepada anak-anaknya,” tambah Ariani.
Cerita soal THR, tak beda jauh diungkapkan oleh Nur Asriyani. Ayahya bekerja sebagai dosen dan sepenuhnya perekonomian keluarga disokong oleh sang bapak. Memang, dibandingkan dengan para pedagang pendapatan para pegawai tak berubah selama Ramadhan. Kalaupun ada, itupun berasal dari dana (THR) yang diperoleh dari kantor, tempat sang pegawai bekerja. “Pendapatan keluargaku tetap segitu-gitu aja. Soalnya bapakku kan PNS, jadi nggak seperti para pedagang , yang mungkin pendapatannya meningkat drastis pada saat bulan puasa. Tapi biasanya dapet THR kok! He..he..he..” ujar Asriani.
Mengingat pendapatan keluarganya yang pas-pasan, keluarga Asriani memiliki strategi khusus dalam mengatur pengeluaran selama Ramadhan. “Kami biasanya membeli barang yang penting-penting dulu. Nah, kalau dalam hal makanan, biasanya kami menghemat. Caranya, makanan untuk berbuka kami buat agak banyak, dan kalau tersisa banyak, kami biasanya makan masakan itu lagi pada saat sahur. Tapi kalau soal pakaian, gak ada masalah kok, soalnya kami kan nabung di hari-hari sebelumnya,” papar mahasiswi semester lima ini.
Keluarga Apriani juga memiliki strategi yang tak berbeda dengan keluarga Asriani dalam menyiasati pengeluaran menjelang hari raya. “Harga barang naik, disebabkan karena kebutuhan makanan dan minuman atau hidangan lainnya meningkat. Ya, untuk persiapan menjamu tamu, teman dan kerabat yang datang ke rumah. Sebenarnya pas hari raya ini kita harus saling menyambung tali silahturahmi dengan halal bihalal atau berkunjung sekedar untuk mengobrol ringan. Nah, karena tahu kebutuhan akan naik, maka kami biasanya nabung atau ngirit-ngirit uang lah beberapa bulan sebelumnya,” papar Apriani.
Menjelang hari raya, tayangan-tayangan televisi sarat dengan berbagai program yang berbau religius. Mulai dari kuis, sinetron, lagu-lagu hingga komedi. Sangat kontras dengan hari-hari biasanya. Menanggapi fenomena ini, Asriani tak keberatan dan bisa memaklumi.“Menurut aku sih mereka melakukan itu sebagian besar karena ingin ambil untung aja dari momen Ramadhan. Tapi itu bagus kok, paling nggak mereka bisa menyesuaikan dengan keadaan,” ujarnya.
Menyoal pemaknaan hari raya, Apriani mengungkapkan bahwa perayaan hari raya sebagai momen yang tepat untuk berkontemplasi, merenung dan mengevaluasi diri. “Itulah sebabnya kebaktian adalah hal yang paling penting dalam perayaan Natal,” ungkapnya. Agama selalu mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana. Tak terkecuali menjelang hari raya. Boleh-boleh saja berbelanja asal tahu diri. “Kalau punya duit sih nggak apa-apa! Tapi kalau nggak, jangan memaksakan diri!cetus Apriani.
(I Made Perdana S & Igen Arya Wijaya)

>KOMPAS, Selasa, 02 Agustus 2005

dimuat d halaman 1 nasional. sehari setelah fatwa MUI 2005 dikeluarkan

Belajar Keragaman di Dusun Turgo
Oleh: Agnes Rita Sulistyawaty

Suhu udara Kamis (28/7) malam itu berkisar 21 derajat Celsius. Kondisi ini membuat sekitar 40 peserta Interfaith Youth Camp harus menahan dingin saat meditasi di alam terbuka.Udara sejuk di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, saat itu dirasakan oleh seluruh peserta lintas agama yang berusia antara 18-24 tahun. Mulai Rabu sampai Minggu pekan lalu—dalam rangkaian peringatan sewindu Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)—para peserta yang berbeda agama itu beraktivitas bersama di lereng selatan Gunung Merapi tersebut.
Pendeta Bambang Subagyo yang memimpin meditasi itu mengatakan, kegiatan meditasi bukanlah pemaksaan. Setiap peserta dibebaskan untuk meditasi dan berdoa sesuai dengan cara mereka masing-masing. ”Tiap agama punya kebiasaan untuk meditasi. Hanya, cara masing-masing agama bermeditasi itu yang berbeda. Tiap peserta dengan cara bermeditasi menurut agama atau aliran kepercayaan mereka itulah yang kami lakukan di sini,” ujar Bambang menjelaskan. Meditasi merupakan salah satu kegiatan untuk mendekatkan anak-anak muda pada keragaman cara berdoa dari masing-masing agama. Tidak hanya lewat meditasi saja anak-anak muda itu dikenalkan pada pluralisme kehidupan sesungguhnya. Persentuhan dengan teman atau warga Dusun Turgo yang beragama lain merupakan pengalaman langsung tentang pluralisme.
Hanya tiga jam pertama setelah sampai di Dusun Turgo, para peserta merasa canggung karena belum saling mengenal. Namun, menit berikutnya mereka sudah saling melemparkan lelucon, masuk dalam kelompok-kelompok kegiatan, dan menjalani kegiatan bersama tanpa harus tersekat akibat perbedaan agama.
”Awalnya saya enggan ikut kegiatan seperti ini karena melihat acaranya yang berat. Tapi, ketika diberi tahu teman bahwa peserta kegiatan berasal dari lintas agama, saya justru tertarik ikut,” tutur Deta Agus Sri Wahyu (22). Mengenal teman dari lintas agama, menurut Deta, adalah hal yang menyenangkan karena ia bisa bertukar pikiran tentang agama lain. Di hari pertama berkemah, Deta yang beragama Kristen Protestan itu bercakap-cakap dengan seorang kawan Muslim tentang kitab suci masing-masing.
”Dia sampai meminjam kitab suci saya untuk mengetahui apa isinya. Sampai sekarang (hari Sabtu—Red) kitab suci saya belum dikembalikan,” ujarnya. Deta sendiri sudah cukup akrab dengan Al Quran karena keluarga ayahnya adalah keluarga Muslim. Kebersamaan Anggapan-anggapan tentang keburukan orang-orang beragama lain yang selama ini ”dicekokkan” ke dalam pikirannya tidak terbukti setelah Deta bergaul dan berkomunikasi dengan teman yang berbeda agama. Justru kebersamaan terbangun ketika Deta dan para peserta lain bekerja sama dengan warga membersihkan masjid, gereja, atau sekolah dasar yang ada di kampung itu. Perbedaan agama tidak menjadikan batasan ketika harus masuk ke rumah ibadat agama lain dan membersihkan fisik rumah ibadat itu. Gotong-royong ini merupakan milik masyarakat di Dusun Turgo.
Kepala Dusun Turgo Suwaji mengisahkan, ketika masjid di Dusun itu rusak akibat letusan Gunung Merapi pada 1994, seluruh warga dusun tersebut segera turun tangan membantu renovasi masjid. ”Bantuan untuk masjid yang rusak itu tidak hanya datang dari kelompok Muslim, tetapi juga dari para suster maupun aktivis agama lain, sedangkan seluruh warga menyumbangkan tenaga mereka untuk pemulihan masjid itu,” ujar Suwaji menceritakan.
Kerja sama tanpa memandang agama jugalah yang membuat warga Dusun Turgo bisa menyelesaikan pembangunan pipa air yang juga rusak karena letusan Gunung Merapi tahun 1994 itu. Sampai saat ini bapak-bapak di Dusun Turgo yang beragama Islam, Kristen Protestan, Katolik, maupun agama lain tetap bergotong-royong memecahkan batu alam untuk dijadikan jalan kampung setiap hari Rabu. Sementara kaum ibu biasanya membersihkan jalan kampung setiap Sabtu sore. Selain pembangunan fisik desa, kenduri di sana juga dilakukan bersama-sama oleh warga Dusun Turgo.
”Kalau ada warga yang hendak menikah atau khitanan, kami mengadakan kenduri atau doa bersama dalam adat Jawa,” kata Suwaji. Belajar keragaman Masyarakat Dusun Turgo yang sebagian besar adalah petani merupakan salah satu contoh masyarakat desa yang menerapkan pluralitas dalam kehidupan keseharian mereka. Pluralitas di Dusun Turgo, menurut Sekretaris Jenderal FPUB Timotius Apriyanto, sudah terbangun secara alamiah sejak lama. Di dusun dengan 225 keluarga dan terletak sekitar 8 kilometer dari Gunung Merapi itu para peserta yang tinggal di 10 rumah warga belajar tentang kehidupan masyarakat, termasuk keragaman agama.
”Anak-anak muda saat ini sering kali takut bergaul dengan teman berbeda agama karena banyak sekali doktrinasi tentang pluralisme yang sempit. Di Dusun Turgo ini mereka mendapatkan pengalaman baru tentang pluralisme,” kata Kiai Haji Abdul Muhaimin, Ketua FPUB. Acara perkemahan ini bukan sekadar menambah wacana tentang pluralisme, tetapi yang lebih penting adalah pengalaman langsung tentang kehidupan plural yang nyata dalam masyarakat. Pengalaman ini dipandang oleh Muhaimin—dari Pondok Pesantren Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta itu—sebagai sesuatu yang penting di tengah munculnya gerakan fundamentalisme agama pada institusi pendidikan di Yogyakarta.
Fundamentalisme agama itu membuat wawasan anak muda tentang pluralisme agama menjadi sempit dan akhirnya mengisolasi anak muda dari pergaulan dengan orang lain. Pengalaman tentang kehidupan antar-agama itu menjadi sesuatu yang baru bagi peserta Interfaith Youth Camp ini.

”Kami belajar dari masyarakat Turgo untuk hidup bersama tanpa ada sekat apa pun, termasuk sekat agama. Di sini kami belajar dari warga dusun yang masih memberikan ucapan selamat kepada warga yang merayakan hari raya keagamaan tertentu,” ucap Ariya Wijaya dari Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) UGM yang juga menjadi Ketua Panitia Interfaith Youth Camp.
Ahsan dari Divisi Jaringan Kodama (sebuah kelompok Santri di Krapyak yang mempunyai kegiatan pemberdayaan masyarakat) melihat kehidupan bersama masyarakat di Dusun Turgo sebagai sesuatu kearifan lokal. ”Selama ini masyarakat desa seolah-olah tidak punya kearifan lokal sehingga segalanya harus diatur orang-orang kota. Padahal, saya justru belajar dari masyarakat desa tentang kehidupan bersama antara warga yang berbeda agama,” ujar Ahsan. Dari kehidupan masyarakat desa inilah Ahsan melihat pengaturan kehidupan sehari-hari antar-umat beragama adalah sesuatu yang berlebihan. Mungkinkah kita harus belajar dari masyarakat desa untuk memandang keragaman sebagai sesuatu yang indah?

>cari kerja

Majalah “Kabare Kagama” Edisi 158/XXXI/Agustus 2005

menyandang status penganggurna pasti ga da enaknya. gw dl ngerasa ada beban segede gunung.tp untunglah itu cepat berlalu. buat yg jd jobseeker slamt berjuang terussss.....tuk yg merasa tersinggung maafkanlah sobatmu yg usil ini.....


Mengejar Kesempatan Kerja yang Tak Kunjung Tiba


“Sejak wisuda Desember 2004 lalu sampai sekarang aku belum dapat kerja, Mas,” keluh Sugeng Arianto, lulusan D3 Teknologi Pertanian UGM. Ia jauh-jauh datang dari kampung asalnya di Temanggung berharap memeroleh pekerjaan dari perusahaan yang mengikuti Indonesian Graduate Recruitment Expo (IGRE), yang digelar di Jogja Expo Center 17-19 Juni 2005. Selama ini, akunya, ia telah mengirimkan 15 surat lamaran, tapi tak ada yang satupun yang menerimanya menjadi karyawan. “Paling banter dulu cuma sampai tes wawancara. Abis itu ora ono kabare,” ungkap Sugeng.
Pengalaman serupa juga dipaparkan Edo, lulusan Fakultas Hukum UGM. “Wah, aku sudah ngelamar dan tes ke mana-mana. Sampai capek,” keluhnya. Sebenarnya ia sangat ingin bekerja di bidang perbankan, tetapi melihat kondisi yang ada, ia akan menerima pekerjaan apapun.
Kalau Sugeng dan Eduard datang ke IGRE dengan harapan mendapatkan pekerjaan pertamanya, lain lagi kisah Kristanto. Lulusan D3 Ekonomi sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta ini sengaja datang ke IGRE untuk memeroleh pekerjaan yang lebih baik. “Aku pengen jadi kolektor, Mas,” ujar pekerja di sebuah toko di Yogyakarta ini. Kolektor yang dimaksud Kristanto adalah orang yang tugasnya menagih utang. Ia mengemukakan alasannya mencari pekerjaan baru karena gaji yang diperolehnya kini tak cukup untuk menanggung masa depannya. “Aku kan pengen nikah dan punya anak,” terang Kristanto yang pernah gagal menikah ini.
Kalau soal pengalaman kerja, Kristanto tak berkecil hati. Tetapi jenjang pendidikannya sering membuatnya patah arang. “Itu ada lowongan. Tapi syaratnya harus S1,” ujarnya seraya menunjuk iklan yang ditempel di dinding stan sebuah perusahaan jasa telekomunikasi.
Sugeng, Eduard, dan Kristanto adalah sekadar contoh betapa sulitnya memeroleh pekerjaan yang layak. Persoalan kesempatan kerja selayaknya merupakan tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Namun, tampaknya, negara gagal dalam menyediakan lapangan kerja bagi jutaan angkatan kerja di negeri ini.
Tengok saja, misalnya, data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) DIY ini. Tahun 2001, jumlah pencari kerja mencapai 53.376 orang. Tahun 2002, jumlahnya meningkat tajam lebih dari 100 persen, atau mencapai 128.634. Tahun 2003, jumlahnya meningkat lagi hingga 143.892. Angka-angka tersebut memperlihatkan adanya kenaikan jumlah pencari kerja sejak tiga tahun terakhir.
Mendapat pekerjaan di era yang kian penuh persaingan ini bukan perkara gampang. Tak cuma sekedar bermodal Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi. Sugeng buktinya. Dengan IPK 3,27 hingga kini ia masih menganggur. Lalu sebenarnya apa kiat agar cepat diterima kerja?
Drs. Bagus Riyono, MA. dari Career Development Center (CDC) UGM dan juga pengajar di Fakultas Psikologi UGM mengatakan bahwa persoalan melamar kerja merupakan kiat menjual diri. “Setiap pelamar kerja harus tahu kompetensinya. Kita harus terus menggali potensi diri. Pengalaman-pengalaman semasa kuliah akan sangat membantu,” ujarnya pada suatu seminar.
Masing-masing perusahaan memiliki cara penilaian tersendiri bagi calon karyawannya. Sigit, karyawan HSBC yang bertugas menjaga stan perusahaannya di IGRE lalu, mengatakan bahwa perusahaan akan menerima seseorang menjadi karyawannya bila ia tahu apa pekerjaan yang akan dilakukannya. Juga ia harus punya motivasi meningkatkan diri dan perusahaannya. “Kalau orang sudah terbiasa berinteraksi dengan orang lain, karirnya akan cepat naik,” ujar Sigit. Selama IGRE digelar, pihak HSBC sudah menerima ratusan surat lamaran. Padahal, “Kami hanya akan merekrut 20 karyawan untuk kantor kami yang baru,” terang lulusan Teknik Industri UPN Veteran Yogyakarta ini.
Banyaknya pengangguran di negeri ini ditengarai oleh gagalnya sistem pendidikan yang diajarkan di sekolah hingga universitas. Kurikulum yang terlalu teoritis dituding sebagai biang kerok penyebab lulusan perguruan tinggi tidak siap untuk bekerja. Ini dibenarkan oleh Danar, lulusan Ilmu Komputer UGM yang kini bekerja di sebuah bank BUMN di Jakarta. “Waktu saya memasuki dunia kerja, saya merasa ada kesenjangan antara dunia kampus dengan dunia kerja. Untung saja, training bagi karyawan baru yang saya ikuti selama sepuluh bulan sangat membantu saya beradaptasi,” terang Danar.
“Pendidikan kita masih mengajarkan konsep lama. Belajar yang rajin biar cepat lulus, IPK tinggi, dan bekerja di perusahaan dengan gaji yang tinggi,” tambahnya. Seharusnya, sejak dini setiap manusia Indonesia diajari berwiraswasta. Menciptakan peluang bisnis. Namun, itu bukan perkara mudah. Pasalnya, berwiraswata itu membutuhkan kesabaran yang tinggi. Dan untuk mencapai kesuksesan diperlukan waktu yang lama, tidak bisa instan.
Tetapi, lebih dari itu, pengalaman berwiraswasta mampu mendorong seseorang untuk kreatif dan terus belajar. “Selama kuliah dulu, saya coba-coba berbisnis kecil-kecilan. Ya, lumayanlah apa yang saya lakukan dulu ternyata sangat berguna dalam menunjang karir saya sekarang ini,” terang Sigit tanpa mau menyebutkan jenis bisnisnya. Selain itu, Sigit menyarankan untuk terus mengembangkan diri dan mau belajar. Ini karena dalam dunia kerja, seseorang bekerja dalam sebuah tim. “Walaupun background pendidikan saya teknik, tapi saya nggak kesulitan kerja di bank,” aku Sigit.
Keinginan mendapat pekerjaan secepat mungkin tentu diinginkan oleh semua orang. Syukur-syukur gajinya tinggi. Sepertinya Sugeng, Edo, dan Kristanto masih harus terus berusaha untuk mencapai pekerjaan yang diimpikannya.
Ayunan langkah-langkah mereka menyusuri stan demi stan 20 perusahaan di arena IGRE seirama dengan lantunan lagu balada karya Iwan Fals berikut ini.

“Engkau sarjana muda/ resah mencari kerja/ mengandalkan ijazahmu
Empat tahun lamanya/ bergelut dengan buku/ tuk jaminan masa depan.”

>rehabilitasi korban narkoba

Majalah “Kabare Kagama” Edisi 160/XXXIII/Februari 2006.

Pengalaman paling mengesankan. Gw berada di antara org2 yg addicted kelakuannya aneh2, bahkan ada yg setengah gila.serasa berada di antara para napi d sel tahanan. Bahaya setiap saat dtg menerkam.ihhh……….gw disuruh nginep ma kyai. Biar lbh tajam laporan gw. ntar gw ikut gile.ampun! matur nuwun nggih kyai yg dah menerima gw ma ariel dg ramah………


Narkoba, si Pembawa Bencana


Perempuan korban Narkoba bisa jadi kanibal! Pernyataan ini bukan mengada-ada lho. Kalau tak percaya tanyakan saja pada KH RHA Anas Priharsaya (60), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Islami di Kulon Progo yang khusus menangani para pengguna dan korban Narkoba. Mengapa demikian? Menurut Anas para wanita korban Narkoba kalau sudah ketagihan akan menghisap darah menstruasinya sendiri. Celakanya, mereka juga kerap menggigit dan melukai orang yang berada di sekitarnya. Memang begitulah kalau sudah menjadi korban Narkoba, akal sehat jadi tersumbat.
Dewasa ini peredaran Narkoba luar biasa pesat. Tak cuma di perkotaan, kampung-kampung di pelosok desa pun tak luput dirambah. Dari segi pengguna juga cukup membuat kita miris. Kalau dulu para pengguna Narkoba sangatlah terbatas pada kalangan orang-orang berduit. Namun, sekarang ini, dari kuli bangunan hingga pejabat negara jadi pengguna Narkoba. Celakanya lagi, anak-anak usia sekolah dasar sudah ada yang menjadi pengguna Narkoba! Bagaimana dengan mahasiswa?
Data yang dikeluarkan oleh Dit Reskrim Polda DIY menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2003-2005 terjadi 606 kali kejadian dengan melibatkan 682 tersangka, 655 laki-laki dan 27 perempuan (lihat tabel).
tahun
frekwensi kejadian
tersangka (orang)
jenis kelamin
laki-laki
perempuan
2003
207
245
239
6
2004
195
205
195
10
2005
204
232
221
11
jumlah
606
682
655
27







(Sumber Dit Reskrim Polda DIY)

Dari jumlah tersangka yang tertangkap tersebut, ternyata, kelompok umur yang rentan menjadi pengguna Narkoba adalah kelompok umur 19-40 tahun. Berdasarkan profesi mahasiswa merupakan kelompok pengguna Narkoba terbesar di DIY disusul oleh kaum marginal (buruh, petani, anak-anak jalanan, pengangguran, dan lain-lain), wiraswasta, pelajar, pegawai negeri sipil, dan TNI/POLRI. Ternyata, para calon intelektual negeri ini tak luput dari obat setan itu, justru menjadi “pimpinan puncak”.
Melihat kenyataan ini, tampaknya UGM tak mau berpangku tangan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang peduli terhadap persoalan masyarakat, UGM mendirikan Unit Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (UP2N). Lembaga ini dirintis UGM pada tahun 2001 namun baru ditetapkan secara hukum setahun kemudian. Lembaga ini mempunyai tiga kegiatan utama yaitu: riset, konseling, dan training. Menurut Beben Rubiyanto, Sekretaris UP2N-UGM, penanggulangan penyalahgunaan Narkoba harus melibatkan semua pihak. Pihak-pihak yang dimaksud adalah pemerintah, lembaga pendidikan, instansi swasta, dan masyarakat luas. “Koordinasi antarjejaring sangat penting dilakukan,” ujar Beben. Pasalnya, persoalan penyalahgunaan Narkoba seperti lingkaran setan yang tak berujung-pangkal. “Kalau sudah terjerumus ke dalam Narkoba susah keluar,” tegasnya. “Nggak sedikit mahasiswa UGM yang menjadi pengguna Narkoba, lho,” ujar Beben sembari menyebut sebuah fakultas di mana mahasiswa yang dimaksud tengah belajar.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh UP2N UGM penyebab penyalahgunaan Narkoba merupakan interaksi dari berbagai faktor, antara lain individu, lingkungan, dan Narkoba itu sendiri. Dari ketiganya, faktor individu memegang peranan penting. Karenanya, penyadaran kepada kelompok-kelompok yang rentan menyalahgunakan Narkoba harus terus digalakkan. Misalnya, kepada para remaja yang tergolong kelompok yang berisiko tinggi.
Selain melakukan advokasi kepada kelompok yang rentan menyalahgunakan Narkoba, UP2N-UGM juga mengadakan konseling bagi pengguna Narkoba. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan solusi bagi para pengguna yang ingin sembuh dari ketergantungan Narkoba. Bagi yang sudah sembuh diadakan training. Ini bertujuan untuk memberdayakan mantan pengguna agar tidak kembali mengonsumsi Narkoba. Dalam training ini mantan pengguna Narkoba juga diberi bekal keterampilan guna mendampingi para pengguna yang ingin sembuh dari ketergantungan Narkoba.
Kegiatan UP2N-UGM ini lebih difokuskan kepada penanganan para pengguna Narkoba, bukan korban Narkoba. Pasalnya, UGM belum memiliki Rumah Sakit Khusus untuk merehabilitasi korban Narkoba. Lalu sebenarnya apa beda pengguna dan korban Narkoba? Menurut Anas Priharsaya keduanya dapat dibedakan berdasarkan kondisi fisiknya. Kalau pengguna Narkoba keadaan fisiknya masih baik, seperti orang kebanyakan. Tetapi lain halnya dengan korban Narkoba. Korban Narkoba yang ditangani oleh Anas umumnya dalam keadaan fisik yang rusak, bahkan ada yang lumpuh.
Bagaimana tahapan seseorang bisa terjerumus ke dalam penyalahgunaan Narkoba? Menurut Beben tahap penggunaan penyalahgunaan Narkoba biasanya diawali dengan merokok. “Dari kebiasaan menghisap tembakau inilah terbuka jalan untuk menghisap ganja,” terang Beben. Agaknya, ini merupakan peringatan dini yang patut diperhatikan oleh para perokok! Setelah itu timbul perasaan ingin tahu (coba-coba) bagaimana nikmatnya Narkoba. Dari sekadar ingin tahu lalu berubah menjadi hiburan. Lantas menjadi kebiasaan. Dan, akhirnya mencapai tahap ketergantungan. Nah, kalau sudah mencapai tahap paling akut disebut chaotic, bisa mengalami kelumpuhan dan kerusakan organ tubuh bagian dalam.
Kalau sudah begini perlu terapi yang komprehensif untuk menanganinya. Tak sekadar terapi medis, melainkan juga terapi agama seperti yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Islami di Dusun Padakan, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Pesantren tersebut mulai menangani korban Narkoba sejak tahun 1980. “Awalnya karena terpaksa,” papar Anas Priharsaya memulai kisahnya. Kala itu ia didatangi para orangtua yang menginginkan anak-anak mereka yang nakal agar dididik menjadi anak yang baik. Namun, kian lama yang datang kepadanya tak cuma anak-anak nakal tapi juga para pengguna dan korban Narkoba. Akhirnya dengan kemampuan seadanya, Anas memulainya dengan terapi agama. Hasilnya? “Alhamdulillah, banyak yang berhasil,” ungkap Anas bangga.
Terapi agama yang digunakan adalah dzikir. “Mereka saya ajak berdzikir Asma’ul Husna,” terang Anas. Namun, metode ini dinilai kurang optimal. Lalu, sejak tahun 2000 digunakan pula metode medis. “Jadi, sekarang digunakan metode medis dan agama,” ujar Anas. Metode medis digunakan pada tahap awal penanganan korban Narkoba. Setelah kondisi fisiknya dirasa cukup baik, dimulailah terapi agama. Selain dzikir, sholat dan membaca Al-Quran menjadi menu wajib.
Keampuhan Anas dalam menangani korban Narkoba sudah tak diragukan lagi. Maka tak heran banyak orang dari berbagai pelosok daerah datang kepadanya. Bahkan, setiap hari Minggu Anas selalu kedatangan tamu yang jumlahnya ratusan. Tamu yang datang umumnya rombongan pelajar. Yang datang tak cuma yang Muslim. Ada juga yang Kristen. Meski demikian metode dzikir juga tetap dilakukan. Hanya caranya berbeda, “Dzikir diam,” kata Anas. Sekitar satu jam para tamunya diajak berdzikir. “Mulai jam 09.30 hingga 10.30,” jelas Anas. Dalam dzikir itu Anas mengajak tamunya untuk merenungkan kembali perbuatan yang telah dilakukan dengan mengagungkan asma Allah sehingga kesadaran diri bisa diraih.
Tujuan terapi yang dilakukan Anas tak cuma membuat pasiennya sembuh secara medis melainkan sembuh pula secara agama alias tobat. Tak bisa dipastikan berapa lama waktu yang diperlukan. “Yang paling menentukan adalah peran keluarga,” terang R Deddy Arliadi, Ketua Bidang Teknik, Sarana, dan Logistik yang juga menantu Anas. Keluarga menjadi kunci keberhasilan bagi si korban untuk keluar dari jerat Narkoba. Pihak keluarga harus menanamkan kembali kepercayaan kepada anggota keluarganya itu. “Jangan mengungkit-ungkit kembali kejadian yang telah lalu,” pesan Deddy. Ia mencontohkan pernah ada kejadian di mana pihak keluarga korban Narkoba yang datang menjenguk justru dipukuli oleh si korban itu lantaran pihak keluarga mengungkit kembali lembaran kelamnya. Kalau sudah begini sia-sialah yang telah dilakukan selama ini. “Ya, harus dimulai dari awal lagi,” kata Deddy. Soal kesembuhan, katanya, pihaknya tak bisa menjamin hingga 100%. “Paling maksimal 75%,” terangnya. Ini lantaran pesantren Al-Islami hanya berperan sebagai fasilitator. Semuanya kembali berpulang kepada peran aktif keluarga.
Saat ditemui Kabare Kagama di pengujung Januari lalu pesantren Al-Islami tengah menangani 42 orang korban Narkoba, tiga di antaranya perempuan. Kesabaran dan ketekunan Anas selama bertahun—tahun dalam menangani korban Narkoba bukannya tanpa batu sandungan. Kendalanya klasik, soal pendanaan. Selama ini pendanaan berasal dari usaha peternakan ayam potong yang dikelola pondok pesantren. “Kami mengelola empat unit peternakan ayam. Masing-masing sepuluh ribu ekor,” jelas Anas. Sebenarnya, Anas bukannya tak menampik uluran bantuan dari pihak luar. Selama ini banyak instansi yang berjanji membantunya, tetapi hasilnya nihil. “Kalau zaman Orde Baru lalu kami masih mendapat bantuan pemerintah. Tetapi sejak otonomi daerah berjalan, kami malah tak mendapat perhatian,” sesal Deddy. Alhasil, untuk mencukupi kebutuhan pesantren setiap pasien yang dirawat dikenai biaya. Tapi tak semua demikian. Dari 42 pasien yang ada, 20 di antaranya dirawat secara cuma-cuma. Sedangkan dokter yang menangani secara medis “dibayar” dengan harga kekeluargaan. Pasalnya, dokter tersebut tak lain adalah putri kandung Anas sendiri.
Apa yang dilakukan oleh Anas dengan komunitas pesantrennya merupakan peran serta instansi swasta seperti yang dimaksud Beben di atas. Lalu bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah membentuk suatu lembaga khusus di bawah koordinasi POLRI yang diberi nama Badan Narkotika Nasional (BNN). Namun, kinerja BNN agaknya layak untuk dipertanyakan kembali. Ini terbukti ada saja oknum aparat TNI/POLRI yang terlibat dalam peredaran Narkoba.
Sebenarnya, Narkoba bukan barang baru di Indonesia. Buku “Opium to Java” karya James Rush menggambarkan awal kemunculan Narkoba di Nusantara pada abad ke-19 yang didominasi oleh orang-orang Belanda. Meski sudah seratus tahun Narkoba bercokol di Tanah Air tetapi mengapa penyalahgunaannya sulit diberantas? Mari kita bantu pemerintah dengan tidak mengonsumsi Narkoba. Nyoba Narkoba? Jangan deh, nggak ada gunanya!


>penelitian di UGM

Majalah “Kabare Kagama” Edisi 158/XXXI/Agustus 2005


Melongok Tradisi Penelitian di UGM


“Kemampuan kita sebenarnya tidak kalah dengan orang asing. Kita hanya kurang percaya diri, terutama dalam berbahasa Inggris,” ujar Gayatri Indah Marliyani, mahasiswi Teknik Geologi. Pendapat tadi bukanlah tanpa alasan. Pada Pebruari-Mei 2005 lalu ia turut serta dalam proyek penelitian yang dilakukan oleh San Diego State University di suatu daerah di Jawa Timur. Selama penelitian itu ia memeroleh pengalaman dan ilmu yang sangat berharga.
Sejak dicanangkan sebagai research university, kegiatan penelitian di UGM kian menggeliat. Menurut Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Prof. Dr. Retno S. Sudibyo, M. Sc., Apt. research university adalah sebuah mindset bagi civitas akademika UGM. “Jangan dilihat secara kuantitas. Tetapi tolong dilihat sebagai sebuah upaya agar pendidikan dan pengabdian itu berbasis riset,” jelas Retno.
Untuk mewujudkan UGM sebagai research university, rektorat membuat empat agenda kerja, meliputi pembentukan mindset, pembentukan klaster, hibah dana penelitian (grant), dan pelatihan (workshop).
Kalau sebelumnya penelitian didasarkan pada scientific dan cenderung monodisipliner, kini UGM membuat terobosan dengan mengemukakan tiga konsep baru. Penelitian di UGM harus memiliki keunggulan. Untuk itu setiap usulan penelitian harus 1) inovatif dan inventif, 2) aplikatif dan kolaboratif, dan 3) multidisipliner.
Untuk menuju konsep tersebut UGM telah membentuk klaster sebagai wahana implementasi kebijakan rektorat. Klaster yang dibentuk sifatnya bukan struktural melainkan fungsional. Ada empat klaster yang dibentuk, yaitu sosial humaniora, agro, sains dan teknik, dan kesehatan dan kedokteran. Masing-masing memiliki kompetensi studi. Klaster sosial humaniora memfokuskan pada kesejahteraan sosial. Klaster agro memfokuskan pada keamanan dan keselamatan pangan. Klaster sains dan teknik memfokuskan pada material cerdas. Klaster kesehatan dan kedokteran memfokuskan pada studi tentang kanker.
Klaster-klaster tersebut berbeda dengan pusat-pusat studi yang sudah ada, kini tercatat ada 29 pusat studi yang dinaungi UGM. Bedanya, kalau klaster bersifat interdisipliner sedangkan pusat studi bersifat monodisipliner.
Untuk penelitian interdisipliner, Retno mencontohkan penelitian yang dilakukan oleh Kedokteran Gigi dengan Fisika Teknik dalam membuat gigi buatan yang sangat mirip dengan aslinya.
Tak cukup sampai di situ, UGM juga memiliki RUTI (Riset Unggulan Terpadu Internasional) yang mulai dilakukan penjaringan tahun 2005 ini. “Syaratnya, harus punya partner internasional,” jelas Retno. Dengan rancangan riset yang demikian diharapkan UGM dapat menarik dana riset yang cukup banyak. Namun sayangnya, Retno tak menyebutkan secara pasti dana riset yang telah dihimpun UGM. Tapi yang jelas, menurut Retno, dana milyaran rupiah sudah dikantongi UGM.
Riset-riset yang dirancang sedemikian rupa tersebut diharapkan mampu mengangkat nama UGM dalam jajaran universitas terbaik di dunia. Untuk itu, tentu saja riset-riset unggulan tersebut harus dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional. Di sinilah ketangguhan para akademisi UGM dipertaruhkan. Selama ini, publikasi internasional untuk riset-riset di lingkungan UGM masih kurang. “Banyak dosen yang belum mengetahui bagaimana tata-cara menulis di jurnal internasional,” terang Retno.
Untuk itu UGM giat mendorong penguatan penulisan ilmiah bagi para akademisinya agar mampu go international. Salah satunya dengan mengadakan program International Scientific Writing bagi para akademisi UGM. “Tahun ini diadakan tiga kali lokakarya penulisan ilmiah. Yaitu pada bulan Juni, Agustus, dan Oktober. Masing-masing diikuti oleh 40 peneliti,” terang Retno.
Keberhasilan research university, menurut Retno, dapat dilihat pada alokasi dana riset yang berkisar 50-70%. Selain itu, terjadi keseimbangan antara lulusan pascasarjana dengan S1.
Bagaimana para akademisi UGM menanggapi iklim riset yang sedang melonjak ini? Menurut Dra. Ani Setyopratiwi, M.Si, dosen Jurusan Kimia FMIPA, ia sangat terbantu dengan berbagai kemudahan dalam melakukan penelitian. “Selain kemudahan mendapatkan dana riset, saya jadi terpacu untuk membuat proposal penelitian karena sifatnya yang kompetitif,”ujar Ani.
Cita-cita UGM sebagai research university tak cuma menggembleng para akademisinya, tetapi juga merambah para mahasiswa tingkat S1-nya. Untuk menanamkan jiwa meneliti, mahasiswa UGM dididik untuk belajar interdisipliner. Interdisipliner menuntuk mahasiswa untuk memecahkan persoalan yang aktual di masyarakat dengan pendekatan beberapa disiplin ilmu. Untuk itu, tiap mahasiswa harus berpikir terbuka untuk mau terus belajar dan tidak boleh ada arogansi jurusan mana yang paling baik. Untuk itu agaknya cukup tepatlah program Kuliah Kerja Nyata (KKN) digulirkan.
Namun sayangnya, KKN kurang mendorong mahasiswa untuk berpikir dan bertindak ilmiah. Menurut Retno, program penelitian untuk mahasiswa S1 memiliki tiga hal yang sulit dipunyai. Pertama, penelitian harus bersifat unggulan. Ini sulit dilakukan oleh mahasiswa karena kapasitas pengetahuan dan keterampilan ilmiahnya masih sangat terbatas. Kedua, harus berkelanjutan. Lama studi mahasiswa yang cukup singkat tidak memungkinkan dilakukan riset yang mendetail dan dalam jangka waktu lama Ketiga, harus punya networking yang luas. Ini jelas sulit dilakukan mahasiswa.
Tapi, UGM masih punya program lain yang cukup mengesankan untuk medorong lahirnya para peneliti muda. Setiap tahun UGM rajin mengirimkan mahasiswanya untuk mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional. “Tahun 2005 ini ada 22 proposal penelitian mahasiswa yang akan diikutsertakan dalam PIMNAS di Padang,” terang Sunarto, S. Sos., Kepala Biro Kemahasiswaan dan Alumni UGM, yang ditemui di ruang kerjanya.
Selain itu ada pula Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) untuk menjaring mahasiswa yang tertarik menuliskan ide-idenya yang dituangkan secara ilmiah ke dalam tiga kategori, IPA, IPS, dan pendidikan. “UGM masuk wilayah B. pemenang di tingkat universitas akan dsaring lagi tingkat wilayah kemudian pemenangnya akan dikirm mengikuti PIMNAS di Padang,” ungkap Sunarto.
Pada seleksi tingkat wilayah 2005 ini, wakil UGM bidang IPS berhak melaju ke Padang. Melongok partisipasi UGM pada PIMNAS tiap tahunnya, kiranya seluruh civitas akademika UGM patutlah bangga. Pasalnya, UGM selalu menempati tiga besar juara dengan dibayang-bayangi oleh IPB dan Unibraw.
Masih ada satu lagi ajang lomba penelitian mahasiswa. Namanya Program Kreativitas Mahasiswa. Menurut catatan Sunarto, ada 312 proposal penelitian yang diajukan berasal dari berbagai fakultas di UGM. Tetapi, yang memenuhi kriteria dan mendapat bantuan penelitian hanya sebanyak 57 proposal.
“Sekarang ini penelitian mahasiswa sedang booming. Ini tidak terlepas dari peran serta dosen pembimbing penelitian,” komentar Sunarto memberi alasan. Minat mahasiswa terhadap penelitian merupakan buah dari kerja keras yang berkelanjutan selama ini. Setiap tahun selalu diadakan lomba penulisan ilmiah di tiap fakultas. Belum lagi berbagai lomba menulis esai atau ilmiah popular yang diselenggarakan oleh badan proyek DUE-LIKE maupun berbagai organisasi intrakampus. Dan lagi, untuk mendorong mahasiswa lebih aktif mengembangkan diri, baik di bidang akademik maupun nonakademik, setiap tahun UGM mengadakan pemilihan mahasiswa berprestasi.
Berbagai kegiatan tersebut bukannya tanpa cela. Setidaknya penuturan Husni Thamrin, wakil UGM pada PIMNAS tahun 2004 lalu, patut direnungkan. ”Koordinasi panitia, terutama di tingkat fakultas harus dibenahi. Kompetisi harus lebih fair dengan mengumumkan adanya lomba kepada seluruh mahasiswa dan setiap mahasiswa boleh turut serta. Bukan hanya mahasiswa yang ditunjuk oleh dosen tertentu,” kenang Husni.
Tahun lalu ia beserta kelima rekannya, di Jurusan Sejarah, melakukan penelitian partisipatif selama satu minggu di Dusun Jeruk, Kepek, Gunung Kidul. Bersama kelompoknya ia melakukan penelitian tentang tradisi rasulan. “Orang selalu mengidentikkan Gunung Kidul dengan kemiskinan. Kami tertarik melakukan penelitian di sana karena tradisi rasulan itu merupakan perayaan yang cukup mewah. Kemewahan di tengah himpitan ekonomi yang tak bersahabat itulah yang menarik,” terang mahasiswa yang berencana wisuda Agustus ini.
Terbersit kekhawatiran dalam benak Husni melihat minat belajar para mahasiswa sejak UGM diberlakukan sebagai BHMN. Pasalnya, mahasiswa angkatan 2003 dan 2004 agaknya kurang tertarik dengan hal-hal yang berbau penelitian. “Untuk menarik minat mereka, mungkin harus ada strategi khusus. Kalau zaman saya insentif berupa uang merupakan hal yang menggiurkan. Tapi generasi sekarang mungkin tak tertarik dengan sejumlah uang yang tak seberapa itu. Harus ada stimulan yang tepat,” papar Husni.
Persoalan riset tak bisa dilepaskan dengan kegiatan pendokumentasian dan publikasi hasil penelitian. Untuk itu kemampuan menulis mahasiswa harus benar-benar terlatih. Retno, Ani, dan Sunarto mengeluhkan kemampuan menulis para mahasiswa Kampus Biru. Husni menyadari bahwa kemampuan menulis mahasiswa memang masih harus ditingkatkan. Namun, ia merasa beruntung kuliah di jurusan Sejarah. Pasalnya, di setiap angkatan selalu dibentuk kelompok-kelompok studi. Di sana ia bisa mengasah kemampuannya dalam menulis secara runut dan sistematis.
Menyoal memancing motivasi mahasiswa untuk meneliti, selain adanya stimulan yang tepat seperti yang dipaparkan Husni, agaknya penuturan Ani patut dicermati. Selama ini Ani memancing motivasi mahasiswanya dengan cara memberikan beberapa pilihan tema penelitian. Selain itu, ia kerap mengundang pihak industri agar mahasiswa mampu melihat dan memadukan teori dengan praktik.
Saran yang lebih detail dipaparkan oleh Sunarto. Ada empat saran usulnya. Sosialisasi yang baik, kompetisi tiap fakultas diperketat (bahkan kalau bisa dilakukan lomba tingkat jurusan), insentif bagi pemenang, dan lokakarya untuk membimbing mahasiswa bernalar ilmiah.
Kalau para mahasiswa telah merasa kegiatan penelitian merupakan sebuah kebutuhan dan mereka mampu melaksanakannya, bukan tak mungkin bila UGM akan menghasilkan para peneliti andal. Pengalaman Gayatri dan Husni di atas, patut ditularkan kepada mahasiswa lain. Dengan demikian, agaknya, cita-cita UGM sebagai research university akan benar-benar terwujud. Semoga!